Malu pada Allah
Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 30 Jumadil Awal 1443
Malu pada Allah
Saudaraku, seandainya kita masih saja berkutat antara laku dosa ke dosa lainnya dan atau masih saja menunda-nunda taubat atas kealpaan selama ini, di samping harus malu pada diri sendiri, keluarga, para guru dan Nabi, mestinya juga malu pada Allah. Inilah muara segala asa juga rasa, termasuk malu, tentunya.
Mengapa kita mesti malu pada Allah ta'ala? Iyalah. Coba pikirkan sejenak, Allah sangat mencintai hamba-hambaNya, sangat mencintai kita, senantiasa menanti kita agar mendekati menuju kepadaNya, eh .. kita dengan dosa dan kelalaian yang terus tak jera-jera justru semakin menjauh bahkan lari meninggalkanNya. Allah melalui para muadzin memanggil kita saban saat agar segera meraih kemenangan dengan menghadap kepadaNya, waduh dengan pongahnya kita justru mengabaikan panggilanNya. Allah merindukan tangis tulus pertaubatan kita, tapi air mata tsubat tak kunjung meleleh juga. Begitupun Allah masih mencurahkan kasih sayangNya dengan melimpahkan karuniaNya. Jangan dipikir bahwa ini nyaman-nyaman saja!
Jangan-jangan semua "kenikmatan" yang Allah masih curahkan ini sejatinya teguran iman, jeweran cinta atau malah istidraj dan kita tidak menyadarinya sama sekali. Jangan bilang "gini-gini (dalam kubangan maksiat dan dosa-dosa), tokh aman-aman saja; harta ada, tahta menjanjikan dan keluarga banyak, juga sehat-sehat saja". Ya...ya, mudah-mudahan semua ini karena kasih sayang Allah ta'ala meski tak disembahnya. Tetapi kalau itu istidraj atau teguran iman, bagamana?
Karena rumus keadilan sejatinya sederhana saja. Orang baik mujur, tapi orang jahat hancur; orang bersyukur makmur, tapi orang kufur tersungkur; orang bertakwa disediakan surga, tapi orang berdosa menuai neraka. Rasanya rumus ini tak akan pernah salah. Dalam iman Islam, ketika kita secara sadar melakukan keshalihan atau ketaatan, maka sejatinya kita sudah menuju kepada kebahagiaan hidup. Begitupun sebaliknya, ketika kita secara sadar melakukan kesalahan atau bahkan berbuat maksiat dan dosa, maka sejatinya kita sudah menjerumuskan diri pada jurang kesengsaraan. Oleh karena itu sekiranya kita atau sesiapa saja yang belum taat kepadaNya, atau bahkan masih melakukan kejahatan, sekaranglah saatnya untuk bertaubat, sehingga memperoleh ampunan dari Allah ta'ala dan happy endingnya.
Sekali lagi, tentu menjadi tidak etis berpikiran bagai orang-orang dungu seperti "masih melakukan kesalahan saja masih sehat, kuat, senang-senang saja dan tokh tidak ada masalah dengan dosa-dosa yang diperbuatnya. Dikhawatirkan ini istidraj. Ya istidraj.
Dalam bahasa Islam, istidraj dipahami sebagai pembiaran dengan tetap menganugrahi kenikmatan semu berupa kesenangan atau kesuksesan kepada orang yang sejatinya jauh dari jalanNya. Persis seperti layang-layang yang terus diulur-ulurkan benangnya sehingga meninggi meninggi dan terus meninggi, yang kalau tidak segera disadarinya akan terhempas yang jatuhnya entah ke mana.
Bila di antara kita yang secara kuantitas dan kualitas ibadahnya rendah atau bahkan nihil sama sekali, dan dalam masa yang bersamaan malah sebaliknya maksiatnya baik kepada Allah maupun pada manusia terus dilakukan, tetapi terus menuai ''kesuksesan'' dalam hidup di dunia, tidak pernah sakit fisik, dipanjangkan umurnya, dilimpahi harta benda, diberi tahta, atau kelebihan lainnya, maka harus diwaspadai jangan-jangan semua ini merupakan istidraj baginya dari Allah.
Secara kasat mata seseorang dibiarkan, diberi tangguh dan terus diberi kesempatan, sejatinya agar supaya segera sadar diri, segera berbenah diri dan segera bertaubat kepada Allah yang selalu menanti. Jangan sampai seperti yang terjadi pada orang-orang kafir. ''Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (Qs. Ali ‘Imran: 178) Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Qs.Al-Mu’minun 55-56)
Hadis riwayat Ahmad juga menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berupa nikmat dunia yang disukainya padahal dia suka bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj belaka, lalu Rasulullah membaca Qs. Al-An'am 44: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
Tentu, Allah hanya meridhai kebahagiaan bagi hamba-hambaNya. Oleh karenanya kita mesti malu kepadaNya, waktu yang masih tersedia hendaknya digunakan untuk kebaikan saja, untuk melakukan amal shalih saja dan menjauhi amal salah. Aamiin.